Definisi Pertanian Dan Sejarahnya Di Indonesia
Apa sih definisi pertanian? Kalau berdasakan artikel di wikipedia Petanian yaitu kegiatan memanfaatkan sumber daya hayati yang dilakukan insan untuk menghasilkan materi pangan, sumber energi atau materi baku industri, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya.
Contoh kegiatan pertanian yang umum diketahui yaitu budidaya atau bercocok tanam, pengembangbiakan binatang ternak, pemanfaatan mikrooganisme dan bioenzim sepeti pengolahan produk susu menjadi keju, kedelai menjadi tempe atau sekedar ekstraksi. Penangkapan ikan dan eksplorasi hutan juga termasuk dalam kegiatan pertanian. Apapun kegiatan yang memanfaatkan sumberdaya hayati yaitu pertanian.
Sejak Kapan Pertanian Dimulai? Hal ini berafiliasi dengan sejarah pertanian, Menurut para jago prasejarah umumnya setuju bahwa pertanian di mulai sekitar 12000 tahun yang kemudian dari kebudayaan di kawasan "bulan sabit yang subur" di Timur Tengah, yang mencakup kawasan lembah Sungai Tigris dan Eufrat terus memanjang ke barat hingga kawasan Suriah dan Yordania sekarang. Bukti-bukti yang pertama kali dijumpai memperlihatkan adanya budidaya tanaman biji-bijian (serealia, terutama gandum kuna ibarat emmer) dan polong-polongan di kawasan tersebut.
Perkembangan dan Sejarah pertanian di Indonesia
Era Orde Baru (1967-1997)
1974: Dibentuk Badan Litbang Pertanian. Keppres tahun 1974 dan 1979 memutuskan bahwa Badan Litbang Pertanian sebagai unit Eselon I, membawahi 12 unit Eselon II, yaitu: 1 Sekretariat, 4 Pusat (Pusat Penyiapan Program, Pusat Pengolahan Data Statistik, Pusat Perpustakaan Biologi dan Pertanian, dan Pusat Karantina Pertanian) 2 Pusat Penelitian (Puslit Tanah dan Puslit Agro-Ekonomi), serta 5 Pusat Penelitian Pengembangan (Puslitbang Tanaman Pangan, Puslitbang Tanaman Industri, Puslitbang Kehutanan, Puslitbang Peternakan, dan Puslitbang Perikanan).
1980 : Berdirinya Departemen Koperasi secara khusus, untuk membantu golongan petani lemah di luar Jawa dan Bali untuk membangun perjuangan tani berskala lebih besar. Setelah koperasi diterima sebagai satuan ekonomi yang fundamental dalam menyebarkan ekonomi pribumi, dirangsang semoga semua desa membentuk koperasi primer, namun demikian sejumlah kasus yang dihadapi yaitu kekurangan modal, administrasi lemah, kesulitan menjangkau pasaran antara lain alasannya yaitu turut pedagang perantara. Koperasi dirasakan sebagai “paksaan” sehingga namanya pun yang sudah terkontaminasi perlu dirubah menjadi BUUD.
1983: Berdasarkan Kepres No. 24 tahun 1983, terjadi reorganisasi di Badan Litbang Pertanian sehingga terdiri atas: Sekretariat, Pusat Data Statistik, Pusat Perpustakaan Pertanian, Puslit Tanah, Puslit Agro-Ekonomi, Puslitbang Tanaman Pangan, Puslitbang Tanaman Industri, Puslitbang Hortikultura, Puslitbang Peternakan, dan Puslitbang Perikanan.
1993: Sesuai dengan Keppres No. 83 tahun 1993 dibuat Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) dan Loka Pengkajian Teknologi Pertanian (LPTP) yang tersebar di seluruh propinsi di Indonesia. Selain itu juga terjadi pembentukan 2 unit organisasi BPTP di 2 Propinsi, yaitu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten, dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Bangka Belitung (Kepmentan No. 633/Kpts/OT.140/12/2003).
Era 1945-1967
1960: Lahirnya UU No. 5/1960 perihal Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yaitu tanggal 24 September 1960. Kelahiran UUPA melalui proses panjang, memakan waktu 12 tahun. Dimulai dari pembentukan "Panitia Agraria Yogya" (1948), "Panitia Agraria Jakarta" (1951), "Panitia Soewahjo" (1955), "Panitia Negara Urusan Agraria" (1956), "Rancangan Soenarjo" (1958), "Rancangan Sadjarwo" (1960), balasannya digodok dan diterima bundar Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR), yang kala itu dipimpin Haji Zainul Arifin. Kelahiran UUPA mengandung dua makna besar bagi kehidupan bangsa dan negara Indonesia.
Pertama, UUPA bermakna sebagai upaya mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (Naskah Asli), yang menyatakan, "Bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipakai untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Kedua, UUPA bermakna sebagai penjungkirbalikan aturan agraria kolonial dan inovasi aturan agraria nasional yang bersendikan realitas susunan kehidupan rakyatnya.
Tujuan UUPA pada pokoknya meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan aturan agraria nasional, mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam aturan pertanahan, dan meletakkan dasar-dasar kepastian aturan hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat. Semuanya semata-mata untuk mewujudkan kemakmuran, kebahagiaan, keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam menuju masyarakat adil dan makmur. Sebenarnya apa yang tersurat maupun tersirat dari tujuan UUPA, pada hakikatnya merupakan kesadaran dan jawaban bangsa Indonesia atas keserakahan dan kekejaman aturan agraria kolonial.
Era Sebelum kemerdekaan (1900-1945)
1918: Berdiri Balai Besar Penyelidikan Pertanian (Algemeen Proefstation voor den Landbouw), yang kemudian sejak tahun 1949 menjadi Jawatan Penyelidikan Pertanian, kemudian 1952 menjadi Balai Besar Penyelidikan Pertanian / General Agriculture Experiment Station (Algemeen Proefstation voor den Landbouw).
Selanjutnya tahun 1966 menjadi Lembaga Pusat Penelitian Pertanian, tahun 1980 berubah lagi menjadi Balai Penelitian Tanaman Bogor (Balittan), tahun 1994 menjadi Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan (Balitbio), tahun 2002 menjadi Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (Balitbiogen), dan terakhir tahun 2003 berganti nama menjadi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB-Biogen)
Era kurun ke-19
1811-1816: Sistem pajak tanah yang dikenalkan oleh Raffles telah membawa beberapa duduk kasus terhadap kaum feodal Jawa di daerah-daerah taklukan dan juga perubahan penting berupa sistem kepemilikan tanah oleh desa. Kekecewaan para feodal terhadap sistem ini telah mendorong lahirnya pemberontakan kerajaan. Pemberontakan ini kemudian lebih dikenal dengan Perang Jawa atau perang Diponegoro.
1830-1870: Era Tanam paksa (cultuur stelsel) Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch mewajibkan setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor khususnya kopi, tebu, nila. Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak mempunyai tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Pada prakteknya peraturan itu sanggup dikatakan tidak berarti alasannya yaitu seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laris ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang dipakai untuk praktek cultur stelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak mempunyai lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.
Tanam paksa yaitu era paling eksploitatif dalam praktek ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC alasannya yaitu ada target pemasukan penerimaan negara yang sangat diperlukan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah.
Aset tanam paksa inilah yang memperlihatkan proteksi besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940. Akibat sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku pencetus dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25 Desember 1839.
1870: Lahirnya aturan agraria kolonial yang tertuang dalam Agrarische Wet 1870. Dalam aturan ini dijamin adanya Hak Erfpacht hingga selama 75 tahun, dan menjamin pemegang hak itu untuk memakai Hak Eigendom, serta memberi peluang kepada mereka sanggup memakai tanahnya sebagai agunan kredit.
Lahirnya Agrarische Wet 1870 dipengaruhi dan atas desakan kepentingan pemilik modal swasta Belanda untuk berbisnis perkebunan besar di negeri jajahannya. Sebelumnya, di masa culturrstelsel, mereka hanya dibolehkan sebatas menyewa tanah. Dampak dari aturan kolonial terhadap rakyat tani Indonesia, hanya menghadirkan sejarah kelam kemelaratan, kemiskinan, keterbelakangan dan penindasan.
1890: Dimulainya “Politik Etnik”, yaitu gerakan oposisi kaum sosialis di Belanda yang kemudian kuat kepada golongan-golongan Belanda–Hindia juga. Yaitu mulai diterapkan pelayanan kesehatan umum yang lebih baik, memperluas kesempatan menempuh pendidikan, serta memperlihatkan otonomi desa yang lebih besar.
Era Reformasi (1998 – Sekarang)
1998: Departemen Pertanian kehilangan arah. Hal ini dikarenakan pudarnya Pembangunan jangka Panjang ke 6 yang menjadi ciri khas tahap orientasi pemerintahan Orde Lama. Pada era ini rakyat sudah kehilangan doktrin kepada pemerintahan, meski tidak semuanya, tapi mendominasi.
Dampak yang ditimbulkannya sangatlah besar. Kegiatan-kegiatan penyuluhan dan intensifikasi pertanian melambat. Dampak yang ditimbulkannya yaitu rendahnya produktivitas pertanian tanaman pangan dan hortikultura.
2005: Pada tahun ini muncul rencana Pemerintah dalam melaksanakan revitalisasi pertanian di Indonesia. Hal ini ditindak lanjuti dengan UU No.16 Tahun 2006 perihal Sistem Penyuluhan Pertanian, Peternakan dan Kehutanan. Kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Pertanian No.273 Tahun 2007 terkait perihal klasifikasi Penyuluhan Pertanian.
Konsentrasi peningkatan produksi dan produktivitas komoditas pertanian ini mengantarkan Indonesia mencapai swa sembada beras ke 2 pada tahun 2008. Hal ini ditunjang dengan penambahan tanaga penyuluh pertanian melalui Tenaga Harian Lepas Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL TBPP).
2010: Pertanian di Indonesia mengarah kepada pertanian organik. Pada awalnya pada tahun ini dicanangkan aktivitas pertanian organik, alasannya yaitu banyak hal perihal kekurangsiapan para petani di Indonesia mengakibatkan rencana pertanian organik diundur hingga 2014. Akan tetapi pada tahun 2010 ini penggunaan pupuk kimia sudah mulai dikurangi, dan pertanian organik mulai digalakkan di beberapa daerah.
Era Orde Baru (1967-1997)
1974: Dibentuk Badan Litbang Pertanian. Keppres tahun 1974 dan 1979 memutuskan bahwa Badan Litbang Pertanian sebagai unit Eselon I, membawahi 12 unit Eselon II, yaitu: 1 Sekretariat, 4 Pusat (Pusat Penyiapan Program, Pusat Pengolahan Data Statistik, Pusat Perpustakaan Biologi dan Pertanian, dan Pusat Karantina Pertanian) 2 Pusat Penelitian (Puslit Tanah dan Puslit Agro-Ekonomi), serta 5 Pusat Penelitian Pengembangan (Puslitbang Tanaman Pangan, Puslitbang Tanaman Industri, Puslitbang Kehutanan, Puslitbang Peternakan, dan Puslitbang Perikanan).
1980 : Berdirinya Departemen Koperasi secara khusus, untuk membantu golongan petani lemah di luar Jawa dan Bali untuk membangun perjuangan tani berskala lebih besar. Setelah koperasi diterima sebagai satuan ekonomi yang fundamental dalam menyebarkan ekonomi pribumi, dirangsang semoga semua desa membentuk koperasi primer, namun demikian sejumlah kasus yang dihadapi yaitu kekurangan modal, administrasi lemah, kesulitan menjangkau pasaran antara lain alasannya yaitu turut pedagang perantara. Koperasi dirasakan sebagai “paksaan” sehingga namanya pun yang sudah terkontaminasi perlu dirubah menjadi BUUD.
1983: Berdasarkan Kepres No. 24 tahun 1983, terjadi reorganisasi di Badan Litbang Pertanian sehingga terdiri atas: Sekretariat, Pusat Data Statistik, Pusat Perpustakaan Pertanian, Puslit Tanah, Puslit Agro-Ekonomi, Puslitbang Tanaman Pangan, Puslitbang Tanaman Industri, Puslitbang Hortikultura, Puslitbang Peternakan, dan Puslitbang Perikanan.
1993: Sesuai dengan Keppres No. 83 tahun 1993 dibuat Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) dan Loka Pengkajian Teknologi Pertanian (LPTP) yang tersebar di seluruh propinsi di Indonesia. Selain itu juga terjadi pembentukan 2 unit organisasi BPTP di 2 Propinsi, yaitu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten, dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Bangka Belitung (Kepmentan No. 633/Kpts/OT.140/12/2003).
Era 1945-1967
1960: Lahirnya UU No. 5/1960 perihal Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yaitu tanggal 24 September 1960. Kelahiran UUPA melalui proses panjang, memakan waktu 12 tahun. Dimulai dari pembentukan "Panitia Agraria Yogya" (1948), "Panitia Agraria Jakarta" (1951), "Panitia Soewahjo" (1955), "Panitia Negara Urusan Agraria" (1956), "Rancangan Soenarjo" (1958), "Rancangan Sadjarwo" (1960), balasannya digodok dan diterima bundar Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR), yang kala itu dipimpin Haji Zainul Arifin. Kelahiran UUPA mengandung dua makna besar bagi kehidupan bangsa dan negara Indonesia.
Pertama, UUPA bermakna sebagai upaya mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (Naskah Asli), yang menyatakan, "Bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipakai untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Kedua, UUPA bermakna sebagai penjungkirbalikan aturan agraria kolonial dan inovasi aturan agraria nasional yang bersendikan realitas susunan kehidupan rakyatnya.
Tujuan UUPA pada pokoknya meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan aturan agraria nasional, mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam aturan pertanahan, dan meletakkan dasar-dasar kepastian aturan hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat. Semuanya semata-mata untuk mewujudkan kemakmuran, kebahagiaan, keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam menuju masyarakat adil dan makmur. Sebenarnya apa yang tersurat maupun tersirat dari tujuan UUPA, pada hakikatnya merupakan kesadaran dan jawaban bangsa Indonesia atas keserakahan dan kekejaman aturan agraria kolonial.
Era Sebelum kemerdekaan (1900-1945)
1918: Berdiri Balai Besar Penyelidikan Pertanian (Algemeen Proefstation voor den Landbouw), yang kemudian sejak tahun 1949 menjadi Jawatan Penyelidikan Pertanian, kemudian 1952 menjadi Balai Besar Penyelidikan Pertanian / General Agriculture Experiment Station (Algemeen Proefstation voor den Landbouw).
Selanjutnya tahun 1966 menjadi Lembaga Pusat Penelitian Pertanian, tahun 1980 berubah lagi menjadi Balai Penelitian Tanaman Bogor (Balittan), tahun 1994 menjadi Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan (Balitbio), tahun 2002 menjadi Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (Balitbiogen), dan terakhir tahun 2003 berganti nama menjadi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB-Biogen)
Era kurun ke-19
1811-1816: Sistem pajak tanah yang dikenalkan oleh Raffles telah membawa beberapa duduk kasus terhadap kaum feodal Jawa di daerah-daerah taklukan dan juga perubahan penting berupa sistem kepemilikan tanah oleh desa. Kekecewaan para feodal terhadap sistem ini telah mendorong lahirnya pemberontakan kerajaan. Pemberontakan ini kemudian lebih dikenal dengan Perang Jawa atau perang Diponegoro.
1830-1870: Era Tanam paksa (cultuur stelsel) Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch mewajibkan setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor khususnya kopi, tebu, nila. Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak mempunyai tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Pada prakteknya peraturan itu sanggup dikatakan tidak berarti alasannya yaitu seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laris ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang dipakai untuk praktek cultur stelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak mempunyai lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.
Tanam paksa yaitu era paling eksploitatif dalam praktek ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC alasannya yaitu ada target pemasukan penerimaan negara yang sangat diperlukan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah.
Aset tanam paksa inilah yang memperlihatkan proteksi besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940. Akibat sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku pencetus dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25 Desember 1839.
1870: Lahirnya aturan agraria kolonial yang tertuang dalam Agrarische Wet 1870. Dalam aturan ini dijamin adanya Hak Erfpacht hingga selama 75 tahun, dan menjamin pemegang hak itu untuk memakai Hak Eigendom, serta memberi peluang kepada mereka sanggup memakai tanahnya sebagai agunan kredit.
Lahirnya Agrarische Wet 1870 dipengaruhi dan atas desakan kepentingan pemilik modal swasta Belanda untuk berbisnis perkebunan besar di negeri jajahannya. Sebelumnya, di masa culturrstelsel, mereka hanya dibolehkan sebatas menyewa tanah. Dampak dari aturan kolonial terhadap rakyat tani Indonesia, hanya menghadirkan sejarah kelam kemelaratan, kemiskinan, keterbelakangan dan penindasan.
1890: Dimulainya “Politik Etnik”, yaitu gerakan oposisi kaum sosialis di Belanda yang kemudian kuat kepada golongan-golongan Belanda–Hindia juga. Yaitu mulai diterapkan pelayanan kesehatan umum yang lebih baik, memperluas kesempatan menempuh pendidikan, serta memperlihatkan otonomi desa yang lebih besar.
Era Reformasi (1998 – Sekarang)
1998: Departemen Pertanian kehilangan arah. Hal ini dikarenakan pudarnya Pembangunan jangka Panjang ke 6 yang menjadi ciri khas tahap orientasi pemerintahan Orde Lama. Pada era ini rakyat sudah kehilangan doktrin kepada pemerintahan, meski tidak semuanya, tapi mendominasi.
Dampak yang ditimbulkannya sangatlah besar. Kegiatan-kegiatan penyuluhan dan intensifikasi pertanian melambat. Dampak yang ditimbulkannya yaitu rendahnya produktivitas pertanian tanaman pangan dan hortikultura.
2005: Pada tahun ini muncul rencana Pemerintah dalam melaksanakan revitalisasi pertanian di Indonesia. Hal ini ditindak lanjuti dengan UU No.16 Tahun 2006 perihal Sistem Penyuluhan Pertanian, Peternakan dan Kehutanan. Kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Pertanian No.273 Tahun 2007 terkait perihal klasifikasi Penyuluhan Pertanian.
Konsentrasi peningkatan produksi dan produktivitas komoditas pertanian ini mengantarkan Indonesia mencapai swa sembada beras ke 2 pada tahun 2008. Hal ini ditunjang dengan penambahan tanaga penyuluh pertanian melalui Tenaga Harian Lepas Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL TBPP).
2010: Pertanian di Indonesia mengarah kepada pertanian organik. Pada awalnya pada tahun ini dicanangkan aktivitas pertanian organik, alasannya yaitu banyak hal perihal kekurangsiapan para petani di Indonesia mengakibatkan rencana pertanian organik diundur hingga 2014. Akan tetapi pada tahun 2010 ini penggunaan pupuk kimia sudah mulai dikurangi, dan pertanian organik mulai digalakkan di beberapa daerah.
0 Response to "Definisi Pertanian Dan Sejarahnya Di Indonesia"
Post a Comment